Saturday, December 13, 2008

Kemiri Sunan Menjawab Global Warming



Kemiri Sunan merupakan tumbuhan asli dari Philipina, namun saat ini banyak tumbuh secara alami di Jawa Barat (Duke, 1983). Kini mulai dikembangkan di kawasan Sumedang.

Kondisi iklim yang optimal untuk pertumbuhannya adalah pada suhu 18,7–26,2oC, pH 5,4–7,1.Dapat hidup pada ketinggian rendah sampai menengah, di Jawa barat ditemukan hidup pada ketinggian lebih dari 1000 meter (Hyne, 1987).

Tumbuh sebagai tegakan, tinggi dapat mencapai 15 meter atau lebih, hidup sampai usia di atas 75 tahun dan mempunyai kanopi yang cukup rapat dan lebar. Kanopi yang rapat dan lebar mampu menahan tetesan air hujan jatuh langsung ke permukaan tanah, sehingga mengurangi erosi dan meningkatkan penyerapan air ke dalam tanah. Perakaran tunggang mampu mencegah tanah longsor.Mempunyai daun lebat (mencapai puluhan ribu helai daun/pohon), mampu mengikat karbondioksida dan menghasilkan oksigen dalam jumlah banyak. Jika rehabilitasi seluruh lahan kritis di Indonesia (59,2 juta ha), lahan hutan dan lahan tidak produktif menggunakan kemiri sunan, maka akan tertanam lebih dari 10 milyar pohon sehingga terdapat triliun-an helai daun. Apabila hal ini terealisasi, Indonesia menjadi penyuplai oksigen terbesar di dunia.

Kemiri Sunan sebagai Solusi Krisis Energi.

Dengan menanam pohon ini akan terjadi multiplyer effects, karena selain merupakan solusi tepat untuk rehabilitasi lahan kritis, Kemiri Sunan juga menghasilkan bahan bakar alternatif. Seiring dengan kebijakan pemerintah dalam pengurangan subsidi harga BBM, pengembangan teknologi untuk mendapatkan energi alternatif pengganti peran BBM di dalam negeri semakin berpeluang. Hal tersebut mendukung Kebijakan Energi Nasional (KEN) melalui diversivikasi dan konservasi energi. Salah satu teknologi tersebut adalah penggunaan minyak Nabati sebagai biodiesel. Minyak nabati terbarukan tersebut bisa diperoleh dari biji Kemiri Sunan dan biji Jarak pagar.

Potensi terbesar dari tanaman Kemiri Sunan ada pada buah yang terdiri dari biji dan cangkang (kulit). Pada biji terdapat inti biji dan kulit biji. Inti biji inilah yang nantinya dapat diproses menjadi minyak kemiri sunan dan digunakan sebagai sumber energi alternatif pengganti solar (biodiesel) melalui proses lebih lanjut.

Inti dari buah mampu menghasilkan minyak sebesar 56 % (Vassen & Umali, 2001). Untuk mendapatkan minyak, inti biji harus diperah terlebih dahulu. Hasil dari perahan ini berupa minyak berwujud cairan bening berwarna kuning dan bungkil. Komposisi minyak terdiri dari asam palmitic 10 %, asam stearic 9 %, asam oleic 12 %, asam linoleic 19 % dan asam α-elaeostearic 51 %. Asam α-elaeostearic menjelaskan adanya kandungan racun pada minyak.

Minyak Kemiri Sunan hasil perahan tersebut kemudian diproses lebih lanjut menjadi biodiesel. Minyak tersebut selain digunakan sebagai biodiesel, juga digunakan dalam berbagai produk industri. Antara lain digunakan sebagai bahan untuk membuat pernis, cat, sabun, linoleum, minyak kain, resin, kulit sintetis, pelumas, kampas, dan campuran pada pembersih/pengkilap, pelindung kontainer makanan dan obat-obatan, melapisi/melindungi permukaan kawat dan logam lain seperti pada radio, radar, telepon, dan perlengkapan telegraf (Duke, 1978).

Sisa dari ekstraksi berupa bungkil mengandung 6 % nitrogen, 1,7 % potassium dan 0,5 % phosphor. Bungkil ini dapat diolah lebih lanjut menjadi biogas. Dari 3 kg bungkil diperoleh 1,5 m3 biogas atau setara dengan 1 liter minyak tanah.

Menurut Tatang (2007), rata-rata kebutuhan harian biogas utk 1 rumah tangga adalah 2 - 3 m3/hari, sehingga dibutuhkan 6 – 9 kg bungkil per hari, atau 2 – 3 ton bungkil per tahun. Untuk mencukupi kebutuhan tersebut diperlukan sekitar 6 ton biji kering per tahun.

Jika diasumsikan produktivitas per pohon pada usia diatas 7 Th mencapai 300 kg biji kering per tahun, maka tiap rumah tangga mampu mencukupi sendiri kebutuhan biogas per tahun hanya dengan menanam 15 pohon Kemiri Sunan, tidak perlu lagi membeli minyak tanah. Dengan demikian penjarahan hutan untuk kayu bakar tidak perlu terjadi lagi.

Limbah bungkil sisa dipakai untuk biogas dapat digunakan sebagai pupuk. Sebagai pembanding, untuk 1 Ha tanaman padi dibutuhkan pupuk urea sebesar 150 kg (kandungan N 45%). Jika diasumsikan dalam 1 kg bungkil limbah biogas mengandung N 6 %, maka per Ha diperlukan sekitar 7,2 ton bungkil limbah biogas *.

Dalam setahun terdapat 3 kali musim tanam padi, maka total yang dibutuhkan adalah 6-7,2 ton bungkil limbah biogas untuk dapat menggantikan urea, jumlah yang masih dapat dipenuhi hanya dengan menanam 48 pohon.

Apabila setiap rumah tangga menanam lebih dari 48 pohon, bisa dibayangkan berapa luas lahan yang bisa dipupuk tanpa harus membeli urea.(di input awal untuk 2 Th *).

Bisa disimpulkan bahwa bukan merupakan hal yang mustahil bahwa dengan Kemiri Sunan kita mampu mewujudkan DESA MANDIRI ENERGI DAN DESA MANDIRI PUPUK.

No comments:

Post a Comment